Wahai Yang Maha Baik, Apa Kabar?
Maaf aku menulis lagi. Seperti biasa, aku hanya mencariMu ketika aku butuh. Tapi bukankah Kau mencintaiku Tuhan? Seperti Engkau mencintai tiap-tiap mahluk yang membenci maupun memujamu. Oh iya, apa kabar Tuhan? Apakah Kau masih di sana? Di satu tempat di seluruh jagat raya ini yang tak bisa aku nalar? Apakah Kau bosan Tuhan? Menjadi entitas yang maha, yang segala, yang tak ada satupun mahluk mampu menyamai segala hal yang Engkau miliki.
Aku masih baik baik saja Tuhan, masih menjadi manusia, masih memiliki nurani dan semoga saja masih bersetia padanya. Karena Kau tahu Tuhan? Manusia menjadi manusia karena ia memiliki nurani, sesuatu yang membuatnya tetap berpikir jernih, tetap berpikir lurus dan tetap menjadi seseorang yang baik terlepas segala keburukan dan kejahatan yang ada di sekitarnya.
Tentu Kau sudah tahu mengapa aku menulis ini, peristiwa ini sudah kau ketahui berabad lampau, jutaan tahun lalu ketika engkau belum mencipakan aku dan aku juga masih belum terpikir untuk diciptakan. Barangkali ini akan sangat membosankan bagiMu Tuhan. Mendengar rengekan rengekanku, seorang hamba yang lemah, mahluk dhaif yang entah kapan akan menjadi seorang manusia yang pintar…
Tuhan yang baik, yang kami sebut dalam banyak nama. Aku lelah.
Aku lelah jatuh cinta Tuhan. Aku lelah mencintai dan lebih dari apapun aku lelah untuk berharap. Aku sudah terlalu lelah untuk memelihara perasaan ini. Kau tahu Tuhan? Perasaan mencintai tapi kemudian merasa tidak berbalas. Memiliki cinta tapi tidak punya seseorang untuk dicintai. Tentu Kau tahu. Bukankah kau segala yang maha. Segala yang hebat. Aku tidak memintamu untuk mencabut perasaanku ini, aku hanya ingin memintamu mendengar sekali ini saja, entah untuk kau apakan aku ini setelahnya aku menurut.
Aku mencintainya Tuhan dan aku ingin ia bahagia, sayangnya aku berpikir ia akan lebih bahagia tanpaku. Apakah aku egois Tuhan? Apakah aku egois jika aku tidak memperjuangkan perasaannya? Kebahagiaannya? Memperjuangkan ia seperti dulu ia berusaha menjaga hubungan kami agar tetap tegak, agar tetap ada dan agar tetap bisa bersama. Tapi bukankah seseorang mesti memilih Tuhan? Sesuatu kebahagiaan bagi yang di luar dirinya, seperti aku berharap agar ia bisa bahagia.
Aku mencintainya Tuhan dan dalam kemaha tololanku aku membuatnya marah dan kami berpisah. Tapi siapa sih yang tidak tolol ketika ia dirundung nafsu, baik baik, ini bukan pembenaran Tuhan. Aku hanya ingin engkau tahu saja, jelas engkau sudah tahu, engkau Tuhan, engkau bahkan sudah tahu apa isi tulisan ini bahkan sebelum ia selesai dicatat, tapi aku mohon Tuhan, setidaknya biarkan aku selesai menulis ini, menuliskan perasaan-perasaanku yang sekian hari membuatku ingin mati, mati dengan cara konyol dan menyedihkan.
Aku kesepian Tuhan. Aku ingin dicintai. Dicintai oleh ia kalau bisa, tapi aku sadar, bahkan untuk berharap saja aku tidak pantas. Bagaimana mungkin kau berharap dicintai setelah engkau berkhianat? Tapi ini bukan sekedar perasaanku saja Tuhan dan ini bukan soal kesepian, soal mencari jodoh. Tapi soal berlalu, belajar untuk merelakan. Perasaan ini Tuhan, perasaan yang kau berikan padaku? Menjadi platonik dan melankolis itu melelahkan Tuhan. Menyakitkan seolah olah apa yang kamu sisipkan padaku ini adalah belati dengan gerigi tajam yang menyayat kulit perlahan lahan untuk kemudian kau tarik hingga menghasilkan luka menganga.
Aku tahu ini membuatmu terlihat seperti demikian bengis, tapi maaf Tuhan, ini bukan salahmu, ini salahku, ini salahku karena membiarkan diriku sendiri untuk memiliki perasaan platonik dan melankolis. Seolah-olah perasaan itu lebih penting dari perdamaian dunia, lebih penting dari potongan cabe dalam sambal, atau bahkan air liur dari kuda pacu yang berlari terlalu gegas hingga kemudian menjatuhkan pengendaranya. Bukankah kita boleh, sekedar berpikir, barangkali memang seharusnya manusia itu lebih banyak merasakan daripada merayakan kebencian.
Aku lelah pura pura jadi korban, seolah segala kesepian dan ketololan ini salah orang lain. Padahal segala penderitaan, kesepian dan rasa brengsek ini karena ulahku sendiri. Tapi boleh kan Tuhan? Sekali saja kita berharap, seolah harapan itu adalah lotere paling akhir yang entah akan menyelamatkanmu atau membuatmu sial. Seolah olah dengan mengeluh ini tiba tiba akan ada jalan keluar, seseorang yang kamu cintai dengan terlalu mengajakmu bertemu, kalian jatuh cinta lagi, lantas menikah, merayakan cinta dengan bodoh seumur hidup kalian.
Tapi nasib bukan dadu yang dilemparkan, nasib adalah akibat-akibat dari pilihan yang kita ambil.
Aku menyadari ini Tuhan. Aku menyadari bahwa mengasihani diri sendiri tidak akan membuatku menjadi lebih baik, bahwa tidak ada hal yang lebih sia sia daripada berharap Liverpool memenangi liga Inggris dan mengasihani diri sendiri. Mungkin ini konyol Tuhan, tapi aku masih ingin, sekali saja dalam hidupku yang kelewat membosankan ini ada hal-hal yang berani aku perjuangkan sekuatnya, semampunya melebihi keinginanku sendiri untuk bisa tidur tenang di akhir minggu tanpa deadline.
Aku masih merindunya Tuhan. Mustahil menghapuskan kenangan yang kamu bersama bertahun-tahun dalam satu dua hari, satu dua bulan, satu dua tahun, tidak mudah. Apalagi kamu adalah seorang pria dungu yang percaya bahwa cinta semestinya platonik. Tapi bukankah kenangan mengajarkanmu untuk dewasa? Jika memang benar, mengapa demikian sakit? Mengapa belajar untuk dewasa demikian perih, seolah-olah kamu tidak lagi mampu untuk merasakan apapun dan berharap bisa mati saja daripada merasakan pedih ini?
Tuhan yang kami sembah dengan banyak cara, apakah mencintai harus demikian menyakitkan?
Aku masih mengingat senyumnya Tuhan. Lengkung senyum, suara, juga hal hal kecil yang ia sukai. Bagaimana kami bisa saling mencintai, memuja dan menjaga sampai kemudian berharap tentang masa depan yang kemi pikir akan terjadi. Tentang nama anak anak kami, tentang sebuah gereja, tentang masjid, ribuan buku dan juga harapan untuk tidak sekalipun mengajarkan kebencian. And I still have these memories, But we’ll never see what we could have been.
I still remember when we talked about where we’d be a year from now? Remember when you held my hand like you’d never let it go? Remember, cause that’s all i can do. Because We’ll never make another memory.
Ingatan itu melahirkan harapan dan harapan melahirkan luka. Kebencian yang kamu pelihara pada dirimu sendiri, pada diriku sendiri, pada apa yang telah aku lakukan. Apakah aku bisa memaafkan diriku sendiri Tuhan? Apakah aku akan bisa tegak berdiri, berhenti mengasihani diri sendiri dan berharap bahwa kelak aku akan bisa memaafkan kedunguanku sendiri, memaafkan kebodohanku sendiri lantas memulai hidup baru sebagai orang yang lebih bijak.
Bijak, kata paling mustahil dari banyak kesombongan manusia.
Tuhan apakah kau masih di situ? Memandangku dengan lelah dan kesal karena terus menerus mengeluh, sementara Kau tahu, nasibku tidak akan berhenti di sini. Bahwa mungkin, beberapa tahun dari sekarang aku akan menertawakan ini. Bahwa mungkin beberapa saat setelah aku menulis ini aku menemukan orang lain yang membuatku jatuh cinta. Yang membuatku bisa melupakan perasaan perasaan tengik semacam ini, semacam menjadi korban atas kebusukanku sendiri. Boleh kan Tuhan?
Tuhan yang kamu muliakan dengan bermacam kidung, apakah mencintai mesti demikian merepotkan?
Ia menawarkan hati dan perasaan tulus, sementara aku menyerah pada nafsu dan kemungkinan-kemungkinan untuk menjadi kerdil. Ia menjadikanku prioritas, sementara aku menjadikannya pilihan. Lantas kini setelah kami berpisah, ia menemukan yang baru, bahagia bersamanya, aku menginginkannya kembali. Apakah aku bedebah Tuhan? Aku tahu aku bedebah, aku hanya ingin Kau berkata bahwa “Boleh menjadi bedebah, asal jangan jadi agen MLM,” lelucon lelucon kering yang akan kita tertawakan bersama.
Tuhan yang baik apakah kau pernah sekalipun menyesal menciptakan manusia? Bukankah kami, mahluk yang kau pilih sebagai gembala, khalifah dan pemimpin di muka bumi ini hanya membawa kerusakan? Tapi toh kau tetap mengabulkan doa-doa kami, harapan-harapan kami, dan keinginan-keinginan kami. Apakah bagiMu kami adalah anak anak nakal? Ataukah kami sekumpulan umat yang hanya bisa berdoa dan berdoa sementara dunia tidak semakin baik karenanya?
Maaf Tuhan, aku tidak bermaksud lancang, bermaksud membuatmu kesal, bermaksud mempertanyakan keputusanmu. Tapi bukankah kita semestinya belajar dari kesalahan? Aku belajar untuk menghargai perempuan setelah aku berkali-kali menyakiti mereka. Aku belajar untuk menghargai perasaan orang lain, justru setelah aku berulang kali menyepelekannya. Lantas jika memang manusia tidak pernah belajar? Mengapa kami tetap saja engkau biarkan ada?
Tuhan yang kami cari hanya ketika kami kesusahan.
Apakah aku lemah karena menyerah? Apakah aku bodoh karena merelakan? Tuhan, bagaimana caranya agar aku bisa belajar untuk percaya bahwa ini jalan terbaik dariMu. Bahwa ini hanya sekedar episode komikal dari berbagai macam drama yang entah kapan aku hadapi. Tapi perasaanku pedih hari ini Tuhan. Aku merasa bahwa tidak semestinya aku menyiksa diri sendiri, menyakiti diri sendiri karena rasa bersalah. Aku bukan korban dan aku juga menyadari bahwa kesalahanku membuatku begini, tapi jika aku tidak mampu memaafkan diriku sendiri, bagaimana aku memulai hidupku dengan sesuatu yang baru?
Barangkali memang begini. Apapun yang terjadi antara dia dan aku, segala di antaranya, apapun itu, perasaan, ingatan, kenangan, juga kebodohan-kebodohan yang pernah kami rasakan dan lakukan. Adalah satu fragmen sial dari nasib yang tidak bisa kami ubah. Tidak bisa ia ubah dan tidak bisa aku perjuangkan.
Tuhan apakah aku berhak bahagia?
Komentar
Posting Komentar