Dari Cita-cita Tentara, Insinyur, Hingga Ahli Sejarah. Pada Akhirnya Hidup Hanya Soal Kompromi
Dulu sewaktu kecil, saya pernah bercita-cita menjadi seorang
tentara. Maklum saja, Rumah tempat tinggal saya memang sebelahan persis
dengan anggota Babinsa. Saya juga pernah lihat komplek perumahan dan markas tentara. Hal tersebut kemudian
meniupkan semacam “angin tentara” dalam hidup saya.
Sebagai seorang lelaki yang tinggal di lingkungan yang lumayan tentara, saya
melihat semacam fakta menyebalkan, di mana sejelek apa pun tampang tentara
(apalagi yang perwira lulusan akademi militer), pacar atau calon istrinya
hampir dipastikan cantik.
Ada juga fakta unik di kampung saya, kalau tentara mendapatkan istri Kebanyakan kalau ga Bidan ya Perawat.
Saat upacara kelulusan perwira, misalnya, saya banyak melihat para perwira yang
berpose dengan pacar mereka yang memang rata-rata sintal dan berwajah
menyenangkan.
Kelak, cita-cita sebagai tentara ini pupus karena saya sadar diri dengan postur
tubuh saya yang lemah, dan ringkih. Jangankan jadi tentara, untuk sekadar
mengangkat satu pucuk senjata saja rasanya saya butuh mengerahkan banyak daya
dan upaya.
Cita-cita sebagai seorang tentara hilang sudah. Saya kemudian bercita-cita
menjadi seorang insinyur pertanian. Maklum saja, melihat berita tentang
banyaknya sawah yang berubah menjadi rumah serta makin berkurangnya jumlah
petani, saya merasa terpanggil. Saya tertarik untuk membuat teknologi kultur
jaringan sederhana yang bisa diimplementasikan oleh orang-orang yang bahkan
tidak pernah sekolah. Saya juga pernah punya obsesi untuk membuat semacam sawah
bertingkat sebagai solusi sawah yang semakin sempit.
Namun, cita-cita sebagai insiyur pertanian ini pupus sebab nilai biologi saya
ternyata buruknya minta ampun. Praktek mencangkok batang jambu saat ujian
praktik sekolah pun saya gagal total. Menyambung batang ketela tahun dan ketela
jenderal pun saya payah. Satu-satunya prestasi kebiologian saya mungkin adalah
berhasil menumbuhkan kecambah dengan media kapas. Dan itu bukan prestasi yang
istimewa, sebab hampir semua kawan satu kelas saya berhasil melakukannya.
Merasa tidak cocok dengan tanaman, saya kemudian mulai mencari pilihan
cita-cita lain. Saya mulai bercita-cita menjadi seorang ahli sejarah. Kali ini,
alasannya sederhana. Saya memang suka pelajaran sejarah. Sewaktu SMA, saya
pernah mendapatkan nilai sejarah paling tinggi saat ujian akhir. Khusus untuk
mata pelajaran sejarah, nilai saya unggul dari Arum dan Tyas, dua siswa
terpintar di SMA saya kala itu.
Guru sejarah saya bahkan sampai bilang, kalau ada olimpiade mata pelajaran
sejarah, sayalah yang bakal dikirim oleh sekolah.
Cita-cita ini semakin menjadi-jadi saat saya melihat wawancara di sebuah acara
televisi yang menghadirkan sejarawan Anhar Gonggong sebagai narasumbernya.
Pengetahuan Anhar yang begitu luas membuat saya takjub. Makin mantab niat saya
untuk menjadi seorang sejarawan pilih tanding.
Namun cita-cita itu lagi-lagi pupus karena saya ternyata salah masuk jurusan ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Saya kemudian bekerja sebagai seorang Karyawan di sebuah pabrik produksi sepeda motor.
Sejak saat itu, saya mulai belajar untuk menyederhanakan keinginan dan
cita-cita. Saya hanya ingin setidaknya bisa mencari uang dari menulis atau
ngeblog yang memang menjadi kegiatan saya sehari-hari saat pulang kerja.
Boleh jadi, saya memang orang yang terlalu lemah dan kurang gigih dalam
memperjuangkan cita-cita. Tapi, kisah banyak orang yang nyasar dari
cita-citanya dan ternyata justru menjadi sukses berkali-kali mempengaruhi saya.
Saya berkali-kali bertemu orang-orang yang "sukses" justru setelah ia
tersesat jauh dari cita-citanya. Saya tidak pernah percaya penuh pada passion.
Bagi saya, passion itu nomor sekian, nomor satu adalah memenuhi kebutuhan,
nomor dua adalah menerima keadaan.
Saya jadi ingat pernah punya
keinginan kalau kelak akan bekerja
keras dan menabung demi bisa membeli rumah yang luas halamannya.
“Kalau halamannya luas, nanti kita bisa menanggap dangdut di
depan rumah kalau pas ada hajatan…” kata saya.
Tapi nyatanya, harga tanah semakin hari semakin bajingan. Rasanya susah untuk bisa punya rumah dengan halaman yang luas.
“Kalau kelak ternyata uang hasil tabungan hanya cukup untuk bisa beli
rumah yang halamannya sangat sempit, ya nggak papa, minimal kita masih bisa menanggap topeng monyet.”
Yah. Hidup memang soal kompromi.
Komentar
Posting Komentar