Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2021

Wajah Gelandangan

Gambar
Bulan Puasa kemarin, saya mengisi semacam acara lokakarya mahasiswa di salah satu kampus di Majalengka. Acara berlangsung dari pukul tiga sore dan berakhir sekitar lima belas menit menjelang maghrib. Begitu acara selesai, saya buru-buru pamit ke panitia sebab saya keburu ingin berbuka di salah satu rumah makan langganan saya. “Nggak nunggu buka sekalian, Mas?” tanya salah satu panitia. “Nggak, Teh. Habis ini saya ada acara,” terang saya. Panitia kemudian langsung memberi saya bungkusan, lengkap dengan amplopnya. Saya terima bungkusan dan amplop tersebut dan kemudian langsung ngacir keluar. Saat sampai di tangga, seorang panitia tergopoh-gopoh mengejar saya sembari membawa nasi kotak. “Mas, ini, ada jatah makan dari panitia. Harusnya buat buka puasa, tapi karena Mas Hasan sudah pulang duluan, jadi saya kasihkan saja, siapa tahu nanti di jalan bisa dimakan,” ujarnya sembari memberikan kotak tersebut beserta tas kresek sebagai wadahnya. “Oh, Haturnuhun, Teh.” Di parkiran, sa...

Tidak Mau Menua di Jakarta, Maunya Menua Sama Kamu

Gambar
  Kemacetan di Jakarta Selayaknya banyak orang, saya menyaksikan wajah Jakarta di masa kecil melalui tampilan di layar-layar televisi. Jakarta di mata saya merupakan kota yang dihuni oleh artis-artis top dan beken. Dari Rano Karno sampai Mathias Muchus, dari Anwar Fuady sampai Pong Harjatmo, dari Dina Lorenza sampai Paramita Rusady. Saya hampir selalu berpikir, Jakarta pastilah kota yang menyenangkan, sebab kalau tidak, mana mungkin orang-orang seperti Dina Lorenza itu kelihatan cantik melulu. Dari jaman jadi model video klip lagu Angin Malam-nya Sahara, trus jadi saingannya Peggi di sinetron Gerhana, sampai jadi istrinya tulang Togu di sinetron Tukang Bubur Naik Haji, kok ya nggak ada jelek-jeleknya. Perlahan, saya mulai naksir pada kota itu. Dan rasanya tak berlebihan jika kemudian Jakarta menjadi kota yang, saya merasa, kelak harus pernah merasakan hidup di sana, atau setidaknya, pernah mengunjunginya. Harapan itu tak tercapai saat saya SMP, sebab ketika banyak SMP di kota...

Dari Cita-cita Tentara, Insinyur, Hingga Ahli Sejarah. Pada Akhirnya Hidup Hanya Soal Kompromi

Gambar
  Dulu sewaktu kecil, saya pernah bercita-cita menjadi seorang tentara. Maklum saja, Rumah tempat tinggal saya memang sebelahan persis dengan anggota Babinsa. Saya juga pernah lihat komplek perumahan dan markas tentara. Hal tersebut kemudian meniupkan semacam “angin tentara” dalam hidup saya. Sebagai seorang lelaki yang tinggal di lingkungan yang lumayan tentara, saya melihat semacam fakta menyebalkan, di mana sejelek apa pun tampang tentara (apalagi yang perwira lulusan akademi militer), pacar atau calon istrinya hampir dipastikan cantik.  Ada juga fakta unik di kampung saya, kalau tentara mendapatkan istri Kebanyakan kalau ga Bidan ya Perawat. Saat upacara kelulusan perwira, misalnya, saya banyak melihat para perwira yang berpose dengan pacar mereka yang memang rata-rata sintal dan berwajah menyenangkan. Kelak, cita-cita sebagai tentara ini pupus karena saya sadar diri dengan postur tubuh saya yang lemah, dan ringkih. Jangankan jadi tentara, untuk sekadar mengangkat sa...

Kekaguman dan Kecemburuan Perempuan

Gambar
  Hesti Purwadinata/IDN Times Untuk produk motor, bir, rokok, dan produk-produk lainnya yang identik dengan konsumen laki-laki, hampir bisa dipastikan bahwa salesnya adalah perempuan. Hal tersebut adalah imbas dari realitas dunia marketing, di mana laki-laki memang cenderung tertarik pada perempuan, termasuk produk yang ia jual. Nah, jika menggunakan konsep tersebut, maka seharusnya produk-produk yang identik dengan konsumen perempuan seperti busana perempuan atau kosmetik, harusnya salesnya adalah laki-laki. Sebab sebaliknya, perempuan lazimnya kan tertarik sama laki-laki. Namun yang terjadi di lapangan, nyatanya tidak demikian. Sales untuk produk-produk perempuan sebagian besar tetap perempuan. Sales lipstik Wardah tetaplah perempuan. Sales kutang sorex juga tetap perempuan. Sales kerudung (baik yg syar'i maupun yang tidak) juga perempuan. Mengapa bisa begitu? Usut punya usut, ada satu teori yang menyatakan bahwa hal tersebut ada sangkut pautnya dengan psikologi ketertari...

Relationship Ala Pramuka

Gambar
Foto sekedar ilustrasi Saya punya semacam love-hate relationships dengan Pramuka. Sejak kecil, saya sudah sangat menyukai Pramuka. Maklum saja, sejak kecil, saya sudah sering teracuni dengan sindrom petualangan: menjelajah, berburu harta karun, menaklukkan tantangan, tidur di alam liar, dan sebangsanya. Dan Pramuka, adalah entitas yang, setidaknya bagi saya yang masih kecil, sangat masuk akal untuk memenuhi hasrat petualangan. Ketika SD, walau tak sesuai-sesuai amat dengan bayangan saya akan konsep petualangan, namun setidaknya, Pramuka toh berhasil membuat saya bahagia. Pramuka membuat saya akhirnya bisa merasakan berkemah, ikut pesta siaga, dan yang paling penting, bisa membuat saya petantang-petenteng dengan seragam dilengkapi tali dan belati (yang tentu saja tidak tajam, sebab keberadaannya memang lebih bersifat hiasan pelengkap semata alih-alih sebagai alat pemotong). Bagi saya itu memang sangat keren dan sangat militeristik. Oke, saya paham bahwa militerisme jaman sekarang...