Berdamai Dengan Masa Lalu
Saya tiba-tiba ingat percakapan beberapa bulan lalu, tepat di hari perdamaian dunia:
“Mas, bagi sampean, arti perdamaian itu apa?”
“Tumben kamu nanya begituan?” Pancing saya.
“Ya mumpung sekarang hari perdamaian Mas, mari kita rayakan, biar kekinian.”
Sebelum meladeninya lebih lanjut, saya seruput terlebih dahulu kopi Aroma robusta—kiriman teman dari Bandung tempo hari—yang masih kemepul menggoda.
“Arti perdamaian?” Pancing saya sekali lagi.
“Iya Mas! Makna perdamaian!” Sahutnya dengan berapi-api.
“Bagi saya Cah, hidup ini baru benar-benar damai sentosa-sejahtera, kalau kita bisa berdamai dengan mantan-mantan. Itu aja sih,” Celetuk saya santai, sambil menghembuskan asap kretek tembakau yang baru saya linting semalam.
Kawan saya, Cahyadi (bukan nama samaran), tertunduk diam-lemas selepas mendengar jawaban saya. Wajahnya pucat. Sorot matanya sayu-sendu. Saya berusaha tenang. Sebelum saya menanyakan apa yang terjadi, Cahyadi sudah terlebih dulu mengangkat kepalanya, lalu berkata, “Nganu Mas,” dengan ekspresi yang saya yakin belum pernah sampean jumpai pada spesies manusia manapun, “apa ya nggak ada makna lain, gitu?” tukasnya.
“Lho emangnya kenapa, Cah?”
“Lha sampean tahu sendiri, kan saya jom… blo, Mas.” Dia kembali menundukkan kepala setelah kata jomblo keluar dari mulutya, dengan nada bikin haru bagi siapa saja yang mendengarnya.
Mendengar Cahyadi yang berucap sendu, saya langsung menghentikan isapan kretek saya. Saya memang mudah sekali tersentuh haru tiap kali mendengar kata ‘jomblo’.
Dengan tetap menundukkan kepalanya, Cahyadi melanjutkan ungkapan hatinya,
“Udah gitu, saya kan belum pernah pacaran, bagaimana mungkin saya bisa berdamai dengan mantan-mantan, Mas… Wong satu saja ndak punya? Berarti saya belum bisa merayakan hari perdamaian dunia dong?” Tutup Cahyadi. Air matanya perlahan menetes ke dalam gelas kopi robusta di hadapannya.
Baiklah, saya mulai berkisah kembali.
Coba sampean bayangkan, betapa damainya dunia ini kalau sesama mantan tidak lagi hanya saling stalking akun medsos satu sama lain—hanya demi mengetahui bagaimana kabar si doi setelah berpisah—tetapi dengan langsung menghubunginya melalui WhatsApp,
“Apa kabar hidupmu? Mudah-mudahan selalu dilimpahi kebahagiaan bersama kekasih barumu.”
Boleh juga ditambahi emot smile :).
Atau kalo sampean masih hidup sekota dengan sang mantan, saran saya sampean kirim pesan begini,
“Hai! Apa kabar? Nanti malem ngopi bareng yuk, di kedai kesayangan kita dulu?”
Nah! Adem sekali, bukan? Oh ya, jangan lupa saat kamu WhatsApp begitu, pastikan si doi sedang nggak sama pacar barunya, ya. Ya sampean kira-kira sendiri sajalah, kapan waktu tepatnya.
Sekarang coba sampean bayangkan, betapa damai sentosanya dunia ini kalau bukan hanya 1-2 pasang mantan saja yang merayakan perdamaian dengan cara demikian, tetapi seluruh pasang mantan di pelosok bumi. Hal ini penting, karena menurut survei Afkaria Institute tahun 2016, ketidakdamaian dunia, 85 % adalah karena pengaruh sepasang mantan yang tidak lagi akur. Sangat mengerikan memang.
Ada satu hal lagi yang perlu saya klirkan di sini. Berdamai dengan mantan bukan berarti pertanda gagal move on atau gejala CLBK. Justru sebaliknya, berdamai dengan mantan adalah simbol move on paling paripurna bagi seorang anak manusia.
Lho, kok bisa?
Berdamai dengan mantan itu artinya sampean sudah bisa mengikhlaskan perasaan cinta yang dahulu bersemayam, kemudian pergi. Meridhoi sang mantan menemukan jodohnya yang benar-benar tertulis di tangan Tuhan, yang kemungkinan besar bukan sampean.
Yang juga harus sampean sadari, ikhlas adalah salah satu sifat terpuji yang paling paripurna, paling pol pahalanya. Artinya, berdamai dengan mantan merupakan seluas-luasnya ladang pahala. Jangan sampean sia-siakan kesempatan beribadah yang aduhai ini.
Oh ya, kalau masalah CLBK, jauh-jauh hari Mbah Pram dalam Bukan Pasar Malam sudah wanti-wanti,
“Kadang-kadang manusia ini tak kuasa melawan kenang-kenangannya sendiri.”
Nah, solusinya ya sampean jangan terlalu baper tho. Biarlah perasaan sampean mencari tempat berlabuh lain, dan biarkan doi bahagia bersama pasangan barunya.
Adapun kalo sampean masih juga belum dapet pengganti, ya itu derita sampean sendiri. Jadi ya memang butuh perjuangan untuk melawan kenangan-kenangan indah tatkala sampean sedang mencoba untuk berdamai dengan mantan.
Kenangan?
“Lawan!”
“Mas, bagi sampean, arti perdamaian itu apa?”
“Tumben kamu nanya begituan?” Pancing saya.
“Ya mumpung sekarang hari perdamaian Mas, mari kita rayakan, biar kekinian.”
Sebelum meladeninya lebih lanjut, saya seruput terlebih dahulu kopi Aroma robusta—kiriman teman dari Bandung tempo hari—yang masih kemepul menggoda.
“Arti perdamaian?” Pancing saya sekali lagi.
“Iya Mas! Makna perdamaian!” Sahutnya dengan berapi-api.
“Bagi saya Cah, hidup ini baru benar-benar damai sentosa-sejahtera, kalau kita bisa berdamai dengan mantan-mantan. Itu aja sih,” Celetuk saya santai, sambil menghembuskan asap kretek tembakau yang baru saya linting semalam.
Kawan saya, Cahyadi (bukan nama samaran), tertunduk diam-lemas selepas mendengar jawaban saya. Wajahnya pucat. Sorot matanya sayu-sendu. Saya berusaha tenang. Sebelum saya menanyakan apa yang terjadi, Cahyadi sudah terlebih dulu mengangkat kepalanya, lalu berkata, “Nganu Mas,” dengan ekspresi yang saya yakin belum pernah sampean jumpai pada spesies manusia manapun, “apa ya nggak ada makna lain, gitu?” tukasnya.
“Lho emangnya kenapa, Cah?”
“Lha sampean tahu sendiri, kan saya jom… blo, Mas.” Dia kembali menundukkan kepala setelah kata jomblo keluar dari mulutya, dengan nada bikin haru bagi siapa saja yang mendengarnya.
Mendengar Cahyadi yang berucap sendu, saya langsung menghentikan isapan kretek saya. Saya memang mudah sekali tersentuh haru tiap kali mendengar kata ‘jomblo’.
Dengan tetap menundukkan kepalanya, Cahyadi melanjutkan ungkapan hatinya,
“Udah gitu, saya kan belum pernah pacaran, bagaimana mungkin saya bisa berdamai dengan mantan-mantan, Mas… Wong satu saja ndak punya? Berarti saya belum bisa merayakan hari perdamaian dunia dong?” Tutup Cahyadi. Air matanya perlahan menetes ke dalam gelas kopi robusta di hadapannya.
* * *
Sebelum bercuap-cuap lebih panjang dan tambah tak berfaedah, saya
ingin terlebih dahulu kasih saran. Kalau nasib sampean persis seperti
kawan saya Cahyadi (yang jomblo sejak lahir), sebaiknya sampean nggak
usah seleseikan pembacaan tulisan ini. Cukup sampai di sini. Cukup. Atau
kalau sampean mbandel, ya siapin tisu aja.Baiklah, saya mulai berkisah kembali.
Coba sampean bayangkan, betapa damainya dunia ini kalau sesama mantan tidak lagi hanya saling stalking akun medsos satu sama lain—hanya demi mengetahui bagaimana kabar si doi setelah berpisah—tetapi dengan langsung menghubunginya melalui WhatsApp,
“Apa kabar hidupmu? Mudah-mudahan selalu dilimpahi kebahagiaan bersama kekasih barumu.”
Boleh juga ditambahi emot smile :).
Atau kalo sampean masih hidup sekota dengan sang mantan, saran saya sampean kirim pesan begini,
“Hai! Apa kabar? Nanti malem ngopi bareng yuk, di kedai kesayangan kita dulu?”
Nah! Adem sekali, bukan? Oh ya, jangan lupa saat kamu WhatsApp begitu, pastikan si doi sedang nggak sama pacar barunya, ya. Ya sampean kira-kira sendiri sajalah, kapan waktu tepatnya.
Sekarang coba sampean bayangkan, betapa damai sentosanya dunia ini kalau bukan hanya 1-2 pasang mantan saja yang merayakan perdamaian dengan cara demikian, tetapi seluruh pasang mantan di pelosok bumi. Hal ini penting, karena menurut survei Afkaria Institute tahun 2016, ketidakdamaian dunia, 85 % adalah karena pengaruh sepasang mantan yang tidak lagi akur. Sangat mengerikan memang.
Ada satu hal lagi yang perlu saya klirkan di sini. Berdamai dengan mantan bukan berarti pertanda gagal move on atau gejala CLBK. Justru sebaliknya, berdamai dengan mantan adalah simbol move on paling paripurna bagi seorang anak manusia.
Lho, kok bisa?
Berdamai dengan mantan itu artinya sampean sudah bisa mengikhlaskan perasaan cinta yang dahulu bersemayam, kemudian pergi. Meridhoi sang mantan menemukan jodohnya yang benar-benar tertulis di tangan Tuhan, yang kemungkinan besar bukan sampean.
Yang juga harus sampean sadari, ikhlas adalah salah satu sifat terpuji yang paling paripurna, paling pol pahalanya. Artinya, berdamai dengan mantan merupakan seluas-luasnya ladang pahala. Jangan sampean sia-siakan kesempatan beribadah yang aduhai ini.
Oh ya, kalau masalah CLBK, jauh-jauh hari Mbah Pram dalam Bukan Pasar Malam sudah wanti-wanti,
“Kadang-kadang manusia ini tak kuasa melawan kenang-kenangannya sendiri.”
Nah, solusinya ya sampean jangan terlalu baper tho. Biarlah perasaan sampean mencari tempat berlabuh lain, dan biarkan doi bahagia bersama pasangan barunya.
Adapun kalo sampean masih juga belum dapet pengganti, ya itu derita sampean sendiri. Jadi ya memang butuh perjuangan untuk melawan kenangan-kenangan indah tatkala sampean sedang mencoba untuk berdamai dengan mantan.
Kenangan?
“Lawan!”
Pesan Widji Thukul.
Komentar
Posting Komentar