KETIKA PENDIDIKAN BERTASBIH
“Menjadi
guru memang sebuah pilihan,
dan
memilih menjadi guru berarti menerima berbagai tantangan”
Angin sejuk belum juga
muncul dalam Skenario pendidikan Indonesia. Bahkan kini seakan dramatisasi
semakin kental terasa. Pengembangan yang diiringi perubahan kurikulum dianggap
oleh beberapa pemerhati pendidikan terlalu berlebih, namun tidak bagi mereka
yang menganggap justru itu adalah inovatif. Itu hanya dilihat dari kurikulum.
Coba kita tengok pada
masalah “biaya”, skenario apa yang sedang dimainkan pendidikan di negeri kita
ini. Biaya memang menjadi unsur pokok yang menjalankan segala skenario-skenario
kecil dalam pendidikan. Beberapa media kini telah berlomba-lomba memperlihatkan
ironi pendidikan. Salah satunya dari segi bangunan sekolah terlebih sarana dan
prasarana. Ironi ini terlihat tebal saat kita melihat sekolah-sekolah negeri di
kota yang mematok sejumlah uang untuk syarat masuk, sementara di seberang pulau
Jawa bahkan di pulau Jawa masih saja banyak anak Indonesia yang semangat untuk
menuntut ilmu walau tanpa gedung sekolah. Sekalipun menurut penulis pribadi itu
belum bisa dikatakan gedung.
Bahkan baru-baru ini
sebuah media elektronik swasta memperlihatkan ironi pendidikan di daerah
terpencil di luar pulau Jawa, beberapa
anak berkumpul dalam suatu ruangan dengan dinding bambu mengitarinya yang
mereka sebut itu sekolah. Namun yang lebih menyayat lagi hati saya adalah
ketika reporter media elektronik tersebut bertanya “Di negara manakah kita
tinggal?”. Anak-anak tersebut malah ketawa-ketiwi sambil berpandangan satu sama
lain. Mereka bahkan tak mengenal nama negara mereka. Sungguh ini merupakan
tantangan bagi guru maupun calon guru. Bukan kursi empuk, ruangan ber-AC yang
akan menyambut melainkan terjalnya tantangan di negeri ini.
Sehingga “Pendidikan
adalah hak segala bangsa” kini hanyalah sebuah tulisan saja yang realisasinya
belum juga terasa. Kemudian munculah sebuah pertanyaan, apakah kita membutuhkan
pendidikan? Atau sebaliknya? Pendidikan akan ada selamanya di alam semesta,
sementara kita tidak mampu seperti ini tanpa dididik. Namun beda jika
pendidikan dikait-kaitkan pada pemerintahan, kebijakan dan sebagainya.
Pendidikan yang seperti itu, hidup seiring dengan penulis skenario dan
pelakunya. Bisa saja pelaku melenceng dari skenario yang ada. Untuk itu sebagai
calon pendidik yang nantinya menjadi pelaku pendidikan setidaknya kini mulai
memperhatikan ironi-ironi pendidikan,
mempelajarinya atau setidaknya memiliki rasa prihatin atas fakta
tersebut.
Ironi yang lain adalah
kurangnya tenaga pendidik di daerah-daerah. Ini semakin menjadi masalah ketika
lulusan mahasiswa FKIP membludak disana-sini bahkan beberapa memerlukan seorang
“joki” untuk masuk ke fakultas ini. Bukankah itu seharusnya menjadi awal keseriusan
bagi negara ini dalam menghadapi
tantangan pendidikan? Namun jawabannya masih tidak. Lulusan ini kian
susah mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya, Bank menjadi
pelarian utama yang menawarkan ruangan ber-AC dan kursi empuk. Alasan lainnya
adalah sulitnya mendaftar menjadi PNS, lalu mengapa pemerintah mempersulit jika
memang pendidikan kita membutuhkan tenaga pendidik yang banyak? Entahlah,
mereka selalu punya beribu alasan untuk segala pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan rakyatnya.
Layaknya cinta yang
bertasbih, mungkin kini pendidikan mulai bertasbih meratapi nasibnya di alam
semesta ini. Apakah nasibnya akan membaik di seluruh Indonesia? Pendidikan
mungkin berharap mendapatkan skenario yang membaik untuk dirinya. Bagaimana
kita bisa menjamin pendidikan akan tetap hidup jika kini pelakunya berperilaku
tidak menjamin hidup pendidikan? Seperti pada awal tulisan ini, digambarkan di
daerah terpencil pendidikan yang serba minim. Maka dari itulah, apakah kini
pendidikan yang membutuhkan kita di alam Indonesia agar dia tetap dirasa ada?
Untuk berkoresponden bisa melalui email
Sandiees20@gmail.com
Add caption |
Komentar
Posting Komentar