Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Anak Zaman Sekarang

Percakapan suatu ketika. Saya: “Heh, saha namina budak teh?” (Heh, siapa nama anaknya?) Teman saya: Audrey,. Audrey Azzalea Keandra.” Saya: “Euleuh…” Audrey Azzalea Keandra. Tidak ada yang aneh dengan nama tersebut, tentu saja. Tapi, jika jeli mencermati (atau jika kurang kerjaan seperti saya), maka Anda akan menyadari bahwa semakin hari semakin banyak orang tua yang senang memberi nama yang panjang dan sulit dieja serta dihafal pada anak-anaknya. Terutama, para mama dan papa muda atau Mahmud Abas (Mamah Muda Anak Baru Satu). Sepeti teman saya lainnya–sebut saja Malika (tentu saja yang dibesarkan oleh orang lain)–, dia memberi nama Sharhabeel Famella Al-Farizi pada anak pertamanya. Kemudian, dengan mempertimbangkan luas dan keliling jidat si anak juga kepraktisan namanya ketika dilafalkan, maka Sharhabeel Famella Al-Farizi pun berakhir dengan nama panggilan… Jenong atau Domen (khusus jika si ibu sedang kesal). Ada juga saudara perempuan saya yang menamai anaknya Ar...

Do'aku

Kadang aku bertanya di mana dermaga perjumpaan kita. Agar setidaknya aku bisa memetakan kapan dan dimana kita bisa bersua. Mungkin detik ini kau tengah sibuk memantaskan diri agar kelak kau siap menjadi pendampingku di dunia juga akhirat-Nya. Duhai calon kekasihku, aku tak tahu kapan pastinya kita bisa saling berbagi kisah. Tapi, jika boleh ku pinjam menitmu sejenak, biarkan aku menceritakan rindu ini, biarkan aku menumpahkan perasaanku saat ini... Entah mengapa di dermaga penuh cinta ini, kurasa jauh seakan tak berjarak. Karena doa yang mempertemukan kita serasa jadi lebih dekat. Itulah yang membuat bayang-bayang tentangmu masih bertahta di hati ini. Membuatku masih bertahan menunggumu disini. Cintaku padamu tak perlu kupupuk setiap waktu. Tak perlu juga kulebihkan karena terlalu merindu hadirmu. Karena aku yakin, di tengah jarak antara kening dan sajadah. Selalu terselip do'a agar kita akhirnya ditakdirkan bersama. Karena aku percaya, rasa ini selalu berdiam di ...

Aku Sudah

Setelah melahap habis film Ada Apa Dengan Cinta yang kedua, saya tertegun di depan layar hitam yang berisi dengan deretan nama pemain-pemain film tersebut. Ketika saat itu riuh orang-orang bertepuk tangan bersorak-sorai merayakan Cinta yang kembali dengan Rangga, saya hanya bisa terdiam. Saya marah! Saya kesal hingga ke ubun-ubun kepala. Kenapa orang-orang malah bertepuk tangan?! Apa yang harus dirayakan dari sebuah pengkhianatan?! Cinta yang telah sukses disembuhkan oleh Trian yang saya yakin itu sangat sulit sekali dan butuh kesabaran yang luar biasa, malah dengan mudahnya menghancurkan pondasi yang telah dibangun bertahun-tahun itu hanya dengan satu hari bertemu saja. Ini siapa yang gila? Mungkin, saya termasuk segelintir orang yang tidak setuju dengan akhir cerita dari Film legendaris Indonesia ini. Karena bukan saja mungkin, tapi saya pernah mengalami langsung menjadi 3 orang utama di cerita tersebut. Ya, di tiga pihak utama. Sebagai Cinta, sebagai Rangga, dan se...